Minggu, 27 Februari 2011

SEBUAH PENANTIAN

Di ruangan serba putih inilah aku terbaring. Senyum masih merekah manis di bibirku. Ibu baru saja pulang untuk membersihkan diri dan mengganti pakaian. Tanggal 20 Januari. Hari yang sangat ku nanti sebenarnya. Aku memutar memoriku ke hari pertama aku masuk ke sebuah Pondok Pesantren megah di ujung Kota Tangerang. Setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertamaku di SMP Negeri 7 Jambi, aku terbang menyeberangi Selat Sunda menuju Pulau Jawa. Program empat tahun memang, tapi biarlah. Ini keinginanku sendiri. Alhamdulillah semua keluargaku sangat mendukung keputusan ku ini.

Aku seorang yang periang. Hidupku bisa dibilang sempurna dengan semua fasilitas yang ada. Tampangku lumayan, hingga terkadang membuatku sedikit sombong. Entah berapa laki-laki yang ku buat sakit hati karena kelakuanku. Bahkan aku tak ingat berapa jumlahnya. Hingga saat aku duduk di kelas tiga semester dua, aku yang begitu terlena dengan semua itu harus menelan kenyataan pahit. Hasil laboratorium menyatakan aku memiliki kelainan jantung. Jantungku lemah. Saat itu baru ku sadari semua kesombonganku, perbuatanku yang selama ini sangat tidak baik. Dasar manusia, selalu akan menyesal belakangan. Aku mulai kembali melirik mukenaku. Kewajibanku sebagai Muslimah yang selama ini ku tinggalkan mulai ku laksanakan lagi. Aku sadar. Aku harus segera memohon ampunan pada Sang Pencipta.

Aku senang sekolah di sana. Pondok Pesantren Daar el-Qolam. Ya, itulah nama sekolahku. Aku suka dengan suasana pedesaan yang dikelilingi sawah ini. Masih sangat asri. Walaupun sebuah Pondok Modern, tapi nilai kesederhanaannya tidak pernah dilupakan. Bahasa di sana menggunakan dua bahasa, Arab dan Inggris. Aku sangat kerasan berada di sini. Bisa menenangkan jiwa ku. Kadang aku merasa heran dengan mereka yang tidak kerasan hingga akhirnya memutuskan untuk berhenti dan pindah sekolah. Padahal semua fasilitas telah memadai. Bisa dikatakan sangat lengkap malah. Makan pun telah disiapkan, kita hanya perlu mengantre di dapur untuk mendapatkannya. Mencuci pakaian pun telah ada laundry yang mengerjakan. Walaupun pakaian dalam harus kita sendiri yang mencucinya. Apa lagi yang kurang coba...?

Sistem pembelajaran di sini mengharuskan santriwan dan santriwati berada dalam satu kelas. Sedikit kecewa memang. Karena setahuku Pondok Pesantren itu memisahkan perempuan dan laki-laki. Bukan bermaksud menghindari laki-laki, hanya saja aku sedikit trauma. Takut akan menyakiti perasaan mereka lagi. Maka kuputuskan untuk melupakan mereka dan berprinsip untuk tidak berpacaran sampai waktunya nanti.

Tahun pertama kulewati dengan sangat baik. Jantungku stabil, Alhamdulillah. Tapi, memasuki semester dua lambungku terasa sakit. Tadinya ku pikir hanya maag biasa. Ku minum Promaag untuk meredakannya. Hanya saja semakin lama lambungku semakin sakit. Ulu hatiku perih dan sesak hingga sering kali aku muntah-muntah karenanya. Kala itu aku masih enggan menelepon Ibu. Selain tak ingin mengganggu jadwalnya sebagai Dosen, aku tidak mau membuat dahinya semakin berkerut memikirkanku. Hingga suatu hari, saat aku berwudu sebelum mengikuti shalat subuh. Aku terbatuk dan batuk itu mengeluarkan darah. Aku semakin cemas. Takut. Istirahat pertama hari itu, ku telepon Ibuku. Ibu langsung terbang hari itu juga untuk menyusulku.

Tanggal 17 Januari. Tiga hari lagi ulang tahun Pondok ku. Sebenarnya aku sangat enggan untuk pulang. Karena aku sangat ingin melihat perayaan milad Pondok ini. Dengan sangat terpaksa aku harus melewatkan moment-moment itu.

Di salah satu Rumah Sakit Islam di Tangerang. Aku menunggu hasil laboratorium kemarin. Tanggal 20 Januari. Sedang apa teman-temanku di Pondok? Mungkin setelah upacara dan penampilan kesenian berakhir, mereka akan mengantre di bazaar makanan atau mengunjungi bazaar buku. Dokter pun keluar dengan hasil lab ditangannya. Dokter memberi isarat kepada aku dan Ibu untuk ikut ke ruangannya.

"Ada luka di lambung anak ibu. Kronis. Mungkin kalau lebih cepat diperiksa tidak akan separah ini. Selain itu juga ada gejala usus buntu." Aku hanya diam. Dua penyakit datang sekaligus pikirku waktu itu.

"Paru-parunya sehat. Darah yang keluar waktu itu kemungkinan berasal dari lambungnya." Dokter melanjutkan penjelasan sambil memperlihatkan hasil rontgen kemarin. Alhamdulillah, syukurku.

Tahun kedua, tahun di mana aku mengalami pilek dan batuk setiap hari. Tadinya hanya ku anggap sebagai penyakit ringan yang telah biasa. Waktu itu kupikir akan sembuh dengan sendirinya. Tapi, naik kelas lima aku merasakan sakit yang begitu hebat di kepalaku. Sakit yang seakan ingin memecahkan telingaku. Hingga akhirnya ku telepon tanteku yang tinggal di Tangerang. Tak ingin terus menambah beban Ibuku. Dokter mengharuskan aku rontgen. Ternyata sinusitis telah memenuhi kepalaku. Pilek dan batuk yang ku alami selama satu tahun itu adalah gejala awalnya. Parah. Satu penyakit datang lagi. Aku pun lagi-lagi hanya bisa pasrah dan ikhlas menjalaninya. Walau kadang terpikir, apa maksud Allah memberiku cobaan yang tiada akhirnya. Mungkin, kalau waktu itu aku tidak rajin berdoa dan memohon ampun kepada Allah aku sudah gila saat itu. Alhamdulillah, Allah masih menjaga imanku.

Tahun ketiga itu, aku bisa mengikuti tasyakkuran milad Pondok. Aku sangat senang. Karena tahun kedua kemarin lagi-lagi aku tak bisa mengikuti perayaan itu. Kakekku sakit, dan hal ini mengharuskan aku untuk pulang ke Jambi. Kakek membutuhkanku saat itu. Ku ikuti upacara perayaan itu dengan khidmat. Mendengarkan khutbah kyaiku dengan penuh konsentrasi. Aku terharu. Tak terasa air mataku menetes saat kyaiku membacakan doa. Benar-benar menyentuh. Upacara selesai, dilanjutkan dengan berbagai macam penampilan kesenian. Ada tari saman, marching band, tari Melayu, dan banyak penampilan-penampilan lainnya. Selesai menikmati penampilan kesenian aku beranjak untuk bergabung bersama teman-temanku mengantre di bazar makanan. Mengunjungi bazar buku, dan membeli sebanyak mungkin buku-buku yang ku sukai. Ya, aku memang sangat menyukai buku.

Dari jendela perpustakaan, ku lihat kakak kelas ku sedang berfoto di depan gedung H. M. Natsir. Tahun terakhir mereka sebagai santri. Sudah menjadi tradisi semua santri kelas enam berfoto di sana. Untuk mengisi buku tahunan mereka. Begitu pula aku. Tahun depan saat ku naik ke kelas enam, aku pun akan berada di sana. Bersama teman-teman angkatanku. Tahun terakhir kami sebagai santri. Tak sabar ku nantikan saat-saat itu. Tapi...

"Assalamu ’alaikum." Ibu masuk membawakan semangkuk bubur untukku. Ia telah kembali dari rumah ternyata.

"Wa ’alaikumussalam." Jawabku masih dengan senyum itu. Ibu mulai menyuapi ku. Aku menurut. Ku telan perlahan bubur demi bubur yang Ibu suapkan padaku. Tanggal 20 Januari. Inilah hari itu. Hari yang sangat ku nantikan. Perayaan milad terakhirku sebagai santri. Ku lirik jam yang tergantung rapi di dinding kamar ini. Pukul 09.30 WIB. Ku bayangkan acara berfoto itu. Berharap aku berada di sana. Di antara teman-teman angkatanku. Senyum dan tawa mengembang di setiap wajah mereka. Tapi...

Di sinilah aku. Terbaring di ruangan serba putih ini, dengan infus dan segala macam peralatan medis di sampingku. Jantungku kambuh tiga hari lalu. Aku ingat, seorang temanku pernah berkata;

"Bila seseorang mengalami sakit yang berkepanjangan sebelum ajalnya, itu karena Allah ingin menghapus dosa yang telah ia perbuat dahulu.” Aku percaya saja. Mungkin inilah cara Allah membalas semua perbuatanku dahulu. Masih terbayang wajah ceria teman-temanku. Tahun terakhir sebagai santri. Mungkin, di suatu tempat. Malaikat Izroil telah bersiap untuk menjemputku.

"Siang ini temanmu akan menjenguk." Ucap Ibu. Aku hanya bisa tersenyum menatap wajahnya. Buburku telah habis. Perlahan ku genggam tangan renta yang telah merawatku ini. Ku lihat setitik air di sudut matanya. Ibu menangis. Ku tutup mataku perlahan. Ingin menghilangkan semua beban yang menghimpitku. Tertidur. Mungkin untuk selamanya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar